·
Karamah
Buku ini judul aslinya adalah Jami' Karamat al-Aulia'.
Buku ini diterbitkan beberapa kali di Indonesia dalam beberapa judul,
antara lain Kisah-kisah Karamah Wali Allah dan Mukjizat
Para Wali Allah. Pengarangnya
adalah Yusuf
bin Ismail an-Nabhani.
Membaca buku ini insya Allah kesedihan dan ketakutan diri kita
akan sirna. Jangan pernah bersedih lagi, betapa para wali tidak pernah bersedih
dan takut menghadapi apapun yang ada. Allah tidak akan memberikan ujian di luar
batas kemampuan hamba-Nya. Karena janji Allah tidak pernah ingkar.
Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertanya, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa pekerjaan mereka ? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena harta yang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar cahaya, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab).
Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk menambah keimanan kepada Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan.
Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertanya, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa pekerjaan mereka ? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena harta yang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar cahaya, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab).
Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk menambah keimanan kepada Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan.
|
|
Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung
1. Anbiya' (para nabi). Allah
menganugerahkan kenabian kepada mereka, yaitu orang-orang yang dipilih Allah
untuk diri-Nya dan untuk mengabdi kepada-Nya, hamba-hamba yang dikhususkan
oleh-Nya di hadapan Allah, disyariatkan untuk beribadah dan tidak diperintah
untuk melakukan ibadah selain yang diwajibkan. Maqam kenabian merupakan maqam
kewalian yang khusus, mereka memperoleh ketetapan tentang perkara-perkara yang
dihalalkan dan diharamkan oleh Allah yang khusus untuk mereka bukan untuk yang
lainnya. Dunia membutuhkan hal itu, karena dunia merupakan tempat mati dan
hidup. Allah berfirman, Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan
untuk menguji kalian (QS Al-Mulk [67]: 2). Taklif (syariat) adalah ujian.
Kewalian adalah kenabian yang bersifat umum, sedangkan kenabian yang diangkat
oleh Allah dengan membawa syariat adalah kenabian yang bersifat khusus.
2. Rasul (para rasul yang diberi risalah oleh Allah). Yaitu, para
nabi yang diutus untuk sekelompok umat manusia atau kepada seluruh umat
manusia. Hanya Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia untuk
menyampaikan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhan kepadamu (QS Al-Maidah [5]:
67); Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan risalah (QS Al-Maidah
[5]: 99). Maqam penyampaian itu dinyatakan sebagai risalah bukan yang lain.
Sayyid Muhyiddin tidak membicarakan seputar maaam kenabian dan kerasulan ini,
karena
ia merasa bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, "Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini, karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya."
3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19). Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul. Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw. Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, "Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat dan berada di atas maaam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya."
4. Syuhada' (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan 'kesaksian' kepada mereka, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan.Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga
menyatakan hal itu (QS Ah 'Imran [3]: 18). Allah mengumpulkan mereka dengan
para malaikat dalam menegakkan kesaksian. Mereka adalah yang
bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang bertauhid. Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah. Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi, maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada, pada tingkat keempat. Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim). Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah, bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya." Makna "tangan" di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum Allah terhadap muslim lainnya. Kata "lidah" disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari menyakiti muslim lainnya.
7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu. Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami" (QS Al-Tahrim [66]: 8). Maksud "cahaya" di sini adalah amal saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.
Rasulullah Saw. juga bersabda, "Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta dan jiwa mereka." Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekannya." Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan "manusia" dan "tetangga" yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti "muslim lainnya", bukan manusia secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu.
Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya, maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin. Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin sebagaimana yang telah kami sebutkan.
8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan, yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu' (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid Muhyiddin bercerita, "Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Pengemis itu berkata, 'Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/Ada
seorang laki-laki membuka tempat uang berisi dirham yang dimilikinya, memilih
beberapa dirham pecahan kecil, lalu memberikannya kepada si pengemis. Al-Hajj
Madur memperhatikan lelaki itu, lalu berkata kepada saya, 'Wahai Fulan, tahukah
kau mengapa lelaki itu memilih-milih dirham yang akan diberikannya kepada si
pengemis?' Saya menjawab, 'Tidak.' Al-Hajj lalu berkata, 'Ia adalah orang yang
saleh di sisi Allah, sebab ia bersedekah kepada si pengemis karena mengharap
ridha Allah, maka nilai dari apa yang disedekahkannya karena Allah itu
tergantung kepada Allah."
Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat.
9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23)
10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu, sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10).
Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya. Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat, dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s. ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS Al-Anbiya' [21]: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya. Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya' [21]: 84). Allah juga menguji kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub.
Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang 'arif (yang mengetahui dan mengenal Allah) berkata, "Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis." Seorang yang 'arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah, dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang menimpanya. Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan
Allah sebelum jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu, sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang dipuji oleh Allah.
Ada seorang
sayyid menangis karena lapar. Lalu ia ditanya, "Kamu siapa? Apakah kamu
menangis karena lapar?" Ia menjawab, "Allah telah membuatku lapar
sehingga aku menangis." Ini adalah ucapan orang yang mengetahui Allah,
berjalan lurus menuju Allah, serta mengenal diri dan Tuhannya.
11. Khasyi'un wa Khasyi'at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia.
12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya.
13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunnah.
14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah.
15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi Allah berfirman, "Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku. Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu." Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman, "Barangsiapa
mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta." Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya.
16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini. Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur'an yang pasti benar. Tidak ada kebatilan dalam Al-Qur'an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42)
17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu, disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat kepada Tuhan.
18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Segala puji hanya milik Allah, bagaimana
pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah dalam Al-QurNan adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda, "Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112). Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh ma'rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah. Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang 'arif mewajibkan diri untuk mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka, pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, danpadang
rumput, sebagai bakti mereka kepada orang-orang yang ada di sana . Mereka juga mewajibkan diri berjihad di
daerah kafir yang tidak menyembah Allah. Oleh karena itu, Nabi menetapkan jihad
sebagai perjalanan umat Islam. Jika di suatu daerah, tidak ada orang yang kafir
dan tidak ada orang yang berzikir, itu lebih sedikit kesedihan dan kesulitannya
dibanding daerah yang menyembah selain Allah dan kafir kepada-Nya yang disebut
daerah musyrik dan kafir. Perjalanan untuk berjihad di suatu daerah lebih utama
daripada perjalanan untuk selain jihad, dengan syarat harus memperingatkan
masyarakat daerah tersebut untuk mengingat kepada Allah. Karena mengingat Allah
dalam berjihad lebih utama daripada bertemu musuh dan menyerangnya, dalam
artian menegakkan kalimat Allah di tempat-tempat orang
yang menyembah selain Allah, mereka itulah para Saihun. Sayyid Muhyiddin menjelaskan, "Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-Syiqaq diAndalusia adalah
seorang pemuda yang menetap di daerah musuh dan termasuk pemuka golongan ini,
meskipun ia masih muda karena sejak usianya belum mencapai baligh, ia telah
memutuskan untuk beribadah kepada Allah dan tetap istiqamah dalam keadaan
seperti itu sampai wafat."
20. Raki'un wa Raki'at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]: 112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.
21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung.
Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-'Alaq [96]: 19). Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri. Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil berlutut di hadapannya, "Mendekatlah, mendekatlah," sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi firman Allah di atas mengandung makna "mendekatlah dalam keadaan sujud". Untuk memberitahukan bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata, Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, "Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta." Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan spiritual.
Inilah sujudnya orang-orang 'arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka rumah Allah (ka'bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang
tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-Hijr [15]: 98) 22. Amirun bi al-Ma'ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma'ruf (yang dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak kepada yang ma'ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang ma'ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma'ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini. Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi," niscaya mereka akan menjawab: "Allah." (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, "Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma'ruf. Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya," karena Tuhan itu ma'ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma'ruf. Mereka berada dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma'ruf termasuk dalam ketegori ini
23. Nahun 'an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala (sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali.
24. Hulama' (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati, yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan rasa jemu dan tidak sabar.
25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, "Saya bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dariAndalusia bernama
Yasmin Masannah. Allah menganugerahi golongan ini perasaan mudah iba terhadap
apa yang mereka temui. Allah memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s., dalam
firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang penyantun, pengiba,
dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Sifat santun dan iba itu
membuat mrahim iba terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang mereka
pahat sendiri, maka ia bermurah hati dan tidak segera menghukum mereka,
meskipun ia mampu menghancurkan mereka dengan berdoa kepada Allah. Oleh karena
itu, Ibrahim disebut sebagai orang yang halim (penyantun sehingga tidak tergesa-gesa
menghukum mereka), Ibrahim berharap mereka nantinya akan beriman dan memahami
kaumnya. Berbeda dengan Nabi Nuh a.s. yang tidak memahami kaumnya dan tidak
bermurah hati kepada mereka, sebagaimana tersirat dalam ucapannya, Sesungguhnya
jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan
hamba-hamba-Mu dan hanya akan melahirkan anak-anak yang berbuat maksiat dan
kafir. (QS Nuh [71]: 27)
26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara Allah meskipun mereka mukmin. Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14).
27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka.
28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir.
29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah [2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah, merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun.
30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali
kan segala
sesuatu kepada Allah. Allah memerintahkan mereka untuk selalu kembali
kepada-Nya disertai persaksian bahwa mereka benar-benar telah kembali
kepada-Nya.
31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A'raf [7]: 201)
32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa' [4]: 100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, "Aku takut kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya." Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan-Nya. Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma'arij [70]: 26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada umatnya.
34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]: 177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra'd {13]: 20). Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji. Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]: 10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi.
35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra'd [13]: 21). Mereka menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang itu, bukan orangnya.
ia merasa bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, "Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini, karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya."
3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19). Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul. Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw. Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, "Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat dan berada di atas maaam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya."
4. Syuhada' (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan 'kesaksian' kepada mereka, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan.
bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang bertauhid. Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah. Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi, maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada, pada tingkat keempat. Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim). Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah, bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya." Makna "tangan" di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum Allah terhadap muslim lainnya. Kata "lidah" disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari menyakiti muslim lainnya.
7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu. Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami" (QS Al-Tahrim [66]: 8). Maksud "cahaya" di sini adalah amal saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.
Rasulullah Saw. juga bersabda, "Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta dan jiwa mereka." Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin adalah orang yang tetangganya aman dari kejelekannya." Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan "manusia" dan "tetangga" yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti "muslim lainnya", bukan manusia secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu.
Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya, maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin. Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin sebagaimana yang telah kami sebutkan.
8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan, yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu' (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid Muhyiddin bercerita, "Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Pengemis itu berkata, 'Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/
Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat.
9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23)
10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu, sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10).
Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya. Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat, dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s. ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS Al-Anbiya' [21]: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya. Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya' [21]: 84). Allah juga menguji kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub.
Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang 'arif (yang mengetahui dan mengenal Allah) berkata, "Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis." Seorang yang 'arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah, dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang menimpanya. Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan
Allah sebelum jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu, sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang dipuji oleh Allah.
11. Khasyi'un wa Khasyi'at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia.
12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya.
13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang sunnah.
14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah.
15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi Allah berfirman, "Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku. Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu." Dalam hadis qudsi lain Allah berfirman, "Barangsiapa
mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta." Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya.
16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini. Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur'an yang pasti benar. Tidak ada kebatilan dalam Al-Qur'an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42)
17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu, disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat kepada Tuhan.
18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Segala puji hanya milik Allah, bagaimana
pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah dalam Al-QurNan adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda, "Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112). Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh ma'rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah. Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang 'arif mewajibkan diri untuk mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka, pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, dan
yang menyembah selain Allah, mereka itulah para Saihun. Sayyid Muhyiddin menjelaskan, "Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-Syiqaq di
20. Raki'un wa Raki'at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]: 112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.
21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung.
Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-'Alaq [96]: 19). Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri. Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil berlutut di hadapannya, "Mendekatlah, mendekatlah," sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi firman Allah di atas mengandung makna "mendekatlah dalam keadaan sujud". Untuk memberitahukan bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata, Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya. Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, "Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta." Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan spiritual.
Inilah sujudnya orang-orang 'arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka rumah Allah (ka'bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang
tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-Hijr [15]: 98) 22. Amirun bi al-Ma'ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma'ruf (yang dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak kepada yang ma'ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang ma'ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma'ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini. Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi," niscaya mereka akan menjawab: "Allah." (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, "Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma'ruf. Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya," karena Tuhan itu ma'ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma'ruf. Mereka berada dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma'ruf termasuk dalam ketegori ini
23. Nahun 'an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala (sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali.
24. Hulama' (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati, yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan rasa jemu dan tidak sabar.
25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, "Saya bertemu dengan seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dari
26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara Allah meskipun mereka mukmin. Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14).
27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang seperti mereka.
28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir.
29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah [2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah, merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun.
30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali
31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A'raf [7]: 201)
32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa' [4]: 100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, "Aku takut kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya." Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab Tuhan-Nya. Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma'arij [70]: 26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada umatnya.
34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]: 177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra'd {13]: 20). Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji. Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]: 10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi.
35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra'd [13]: 21). Mereka menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang itu, bukan orangnya.
36. Khaifun (orang-orang yang takut kepada
Allah). Allah menganugerahi mereka rasa takut kepada-Nya, atau takut
karena mengikuti perintah-Nya. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku, jika kamu
benar-benar orang yang beriman (QS Ali 'Imran [3]: 175). Allah memuji sifat
mereka dalam firman-Nya, Mereka takut kepada suatu hari ketika hati dan
penglihatan menjadi goncang (QS Al-Nur [24]: 37); Mereka takut kepada hisab
yang buruk (QS Al-Ra'd [13]: 21). Apabila mereka takut, mereka meniru sifat para
malaikat, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya, Para
malaikat itu takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. (QS Al-Nahl [16]: 50)
37. Orang-orang yang menghindari sesuatu
karena perintah Allah. Allah menganugerahi mereka kemampuan
untuk menghindari segala hal yang tidak berguna, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan
yang tidak berguna (QS Al-Mukminun [23]: 3); Maka berpalinglah (hai Muhammad)
dari orang yang berpaling dari peringatan Kami (QS Al-Najm [53]: 29).
38 Kurama' (orang-orang yang mulia). Allah
menganugerahi mereka kemuliaan jiwa, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga
kehormatan dirinya (QS Al-Furqan [25]: 72). Artinya, mereka tidak
memperhatikannya, tidak ternodai dan terpengaruh sedikit pun oleh perbuatan orang-orang
itu, dan melewatinya begitu saja tanpa menoleh dengan tetap menjaga kemuliaan
dirinya.
Penutup: Biografi Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani
Submitted
by admin on Mon, 2007-11-19 16:48
·
Tasawuf
Yusuf al-Nabhani adalah ulama
yang sangat alim, cerdas, wara',
pemberi hujjah, takwa, dan ahli ibadah. Ia selalu menyenandungkan cinta dan
pujian untuk Rasulullah Saw dalam bentuk tulisan, kutipan,riwayat, karangan,
dan kumpulan syair. Nama lengkapnya adalah Nasiruddin Yusuf bin Isma`il
al-Nabhani, keturunan Bani Nabhan, salah satu suku Arab Badui yang tinggal di
Desa Ijzim, sebuah desa di bagian utaraPalestina, daerah hukum kota Haifa
yang termasuk wilayah Aka, Beirut .
Al-Nabhani lahir pada 1265 H dan dibesarkan di Ijzim. Ia menghafal
Al-Qur'an dengan berguru kepada ayahandanya sendiri, Isma'il bin Yusuf, seorang
syaikh berusia 80 tahun. Pada usia lanjut, Isma`il bin Yusuf masih dikaruniai
akal, pancaindra, kekuatan, dan hafalan yang sempuma, rajin beribadah, dan
bacaan Al-Qur'an-nya sangat bagus. Setiap tiga hari sekali, Isma`il
mengkhatamkan Al-Qur'an, hingga khatam tiga kali dalam seminggu. Keistimewaan
dan kelebihan ini sangat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan pribadi Yusuf
al-Nabhani, yang selalu dibekali hidayah dan ketakwaan dari ayahnya yang saleh
di lingkungan yang bersih dan suci.
Selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an, Yusuf al-Nabhani
disekolahkan orang tuanya ke Al-Azhar, dan mulai bergabung pada Sabtu awal
Muharram 1283 H. Ia tekun belajar dan menggali ilmu dengan baik dari imam-imam
besar dan ulama-ulama umat yang kritis dan ahli ilmu syariat dan bahasa Arab
dari empat imam madzhab.
Ia sangat tekun berikhtiar dan meminta bimbingan kepada orangorang
berilmu tinggi yang menguasai dalil aqli dan naqli,
sehingga ia dapat mereguk samudra ilmu mereka dan mengikuti metode keilmuan
mereka. Hal ini berlangsung sampai bulan Rajab 1289 H. Kemudian ia mulai
berkelana meninggalkan Mesir untuk ikut serta menyebarkan ilmu dan mengabdi
kepada Islam, agar bermanfaat bagi kaum muslimin dan meninggikan mercusuar
agama.
Ketika namanya semakin terkenal, bintangnya semakin bersinar, dan
banyak orang mendapatkan bimbingan dan petunjuk darinya, ia diangkat sebagai
pejabat pengadilan di wilayah Syam, dan akhirnya menjadi ketua Pengadian Tinggi
di Beirut. Pekerjaannya itu dijalaninya dengan penuh kesungguhan dan niat
menolong serta dianggapnya sebagai ibadah disertai niat yang tulus ikhlas.
Hatinya senantiasa berzikir dan membaca Al-Qur'an, banyak bershalawat untuk
Rasulullah Saw., keluarga, dan sahabat-sahabat beliau. Yusuf al-Nabhani selalu
mengisi waktu malam dan siangnya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan
sunnah tanpa henti, bosan, atau lupa. Tak terhitung banyaknya peristiwa luar
biasa yang terjadi padanya, peristiwa-peristiwa yang hanya dikhususkan untuk
para wali dan hamba Allah yang selalu dekat dengan-Nya.
la juga tidak meninggalkan
aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan orang-orang yang luhur dan dicintai,
yakni menyusun dan mengarang berbagai kitab yang sangat mengagumkan. Imam besar
ini diyakini mendapatkan ilham kebenaran dari Allah. Kitab-kitabnya yang
bernilai tinggi dan agung membahas berbagai disiplin ilmu; ilmu hadis, sejarah
Nabi, pujian untuk Nabi, tafsir, pembelaan terhadap Islam, pujian kepada Allah
Swt., kisah-kisah tentang wali-wali Allah dan orang-orang khusus-Nya, dan lain
sebagainya. Kitab-kitab tersebut tidak mungkin lahir dari kemampuan
individualnya belaka, tetapi dibantu dengan karamah, kekuatan, dan pertolongan
dari Allah Swt. Jika Allah mencintai hamba-Nya yang benar, maka Dia menjadikan
pendengaran-Nya sebagai pendengaran hamba- Nya, dan penglihatan-Nya sebagai
penglihatan-hamba-Nya.
Kisah-kisah Karamah Wali Allah
Submitted
by admin on Thu, 2007-08-02 09:59
·
Karamah
Buku ini judul aslinya adalah Jami' Karamat al-Aulia'.
Buku ini diterbitkan beberapa kali di Indonesia dalam beberapa judul,
antara lain Kisah-kisah Karamah Wali Allah dan Mukjizat
Para Wali Allah. Pengarangnya
adalah Yusuf
bin Ismail an-Nabhani.
Membaca buku ini insya Allah
kesedihan dan ketakutan diri kita akan sirna. Jangan pernah bersedih lagi,
betapa para wali tidak pernah bersedih dan takut menghadapi apapun yang ada.
Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena
janji Allah tidak pernah ingkar.
Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertanya, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa pekerjaan mereka ? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena harta yang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar cahaya, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab).
Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk menambah keimanan kepada Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan.
Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertanya, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa pekerjaan mereka ? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu kaum yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena harta yang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar cahaya, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab).
Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk menambah keimanan kepada Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan.
Guru-guru Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani
Submitted
by admin on Mon, 2007-11-19 17:16
·
Tasawuf
Yusuf al-Nabhani mereguk
samudra ilmu dan imam-imam ternama di Al-Azhar. Di antaranya adalah:
·
Syaikh Yusuf al-Barqawi al-Hanbali, syaikh pilihan dari mazhab
Hanbali
·
Syaikh Abdul Qadir al-Rafi'i al-Hanafi al Tharabulusi, syaikh
pilihan dari masyarakat Syawam
·
Syaikh Abdurrahman al-Syarbini al-Syafi`i
·
Syaikh Syamsuddin al-Ambabi al-Syafi'i, satu-satunya syaikh pada
masanya yang mendapatjulukan Hujjatul Ilmi dan guru besar Universitas Al-Azhar
pada masa itu. Dan gurunya ini, Yusuf al-Nabhani belajar Syarah Kitab al-Ghayah wa al-Tagrib
fi Fighi al-Syafi`iyyah karya
Ibnu Qasim dan Al-Khathib al-Syarbini, dan kitab-kitab lainnya dalam waktu 2
tahun.
·
Syaikh Abdul Hadi Naja al-Ibyari (wafat tahun 1305 H.)
·
Syaikh Hasan al-'Adwi al-Maliki (wafat tahun 1298 H.)
·
Syaikh Ahmad al-Ajhuri al-Dharir al-Syafi`i (wafat tahun 1293 H.)
·
Syaikh Ibrahim al-Zuru al-Khalili al-Syafi'i (wafat tahun 1287 H.)
·
Syaikh al-Mu'ammar Sayyid Muhammad Damanhuri al-Syafi`i (wafat
tahun 1286 H.)
·
Syaikh Ibrahim al-Saga al-Syafi'i (wafat tahun 1298 H) Darinya,
Yusuf al-Nabhani mempelajari kitab Syarab `al-Tahrir dan Manhaj karya Syaikh
Zakaria al-Anshari al-Syafi`i, berikut catatan pinggir kedua kitab tersebut,
selama tiga tahun, hingga Al-Nabhani dianugerahi ijazah sebagai pertanda atas
kapasitas dan posisi keilmuannya.
KISAH PENGALAMAN WALI ALLAH
|
|
tuesday, 11 march 2008
|
SOLO (Lidahwali): Suatu kisah
pengalaman seorang wali bernama Yasid Bustami. Satu hari seorang temannya
datang pada Yasid Bustami untuk mengadu, “Saya telah berpuasa tiap hari dan
melakukan salat setiap malam selama 30 tahun tetapi tidak juga memperoleh
keringanan batin seperti yang engkau ceritakan.
Yazid Bustami pun memotong
kata-kata temannya “Kalaupun engkau melakukan salat dan berpuasa selama 300
tahun, engkau pasti tidak dapat menemukannya.”
“Kenapa?” Tanya temannya.
Jawab Yazid, “Sifatmu yang
mementingkan diri sendiri dan serakah menjadi penghalang dan hijab antara
engkau dengan Allah. Teman itu lantas bertanya, “Katakanlah padaku apakah
obatnya?”
“
Setelah dipaksa oleh temannya.
Yasid pun berkata, “Pergilah ke tukang pangkas rambut yang terdekat dan
guntinglah janggutmu. Bukalah bajumu kecuali ikat pinggang yang melingkari
pinggangmu. Ambillah karung yang biasa diisi makanan kuda, isilah buah kenari
dan gantungkanlah karung itu di lehermu. Kemudian pergilah ke pasar sambil
menangis, teriakkanlah seperti ini, “Setiap anak-anak yang memukul batang
leherku akan mendapat sebiji kenari.” Selanjutnya pergilah ke pengadilan,
hakim dan ahli hukum, katakanlah kepada mereka, “Selamatkanlah jiwaku.”
Teman itu berkata, “Sungguh aku
tidak sanggup berbuat begitu. Berilah cara pengobatan yang lain.”
Yazid berkata, “Yang aku ceritakan
tadi adalah cara pengobatan pendahuluan yang sangat perlu dilakukan untuk
mengobati penyakit mu. Tapi sebagaimana yang kau katakan tadi, engkau tidak
dapat disembuhkan lagi.”
Yazid Bustami seorang wali Allah
yang mukasyafah dapat membaca hati (rahasia batin) temannya yang berjuang
untuk nama, pangkat dan sanjungan manusia. Sebab itu Beliau perintahkan
sahabat itu bermujahadah dengan nafsunya dengan cara menghina diri di pasar
dan mengaku jahat di hadapan hakim. Perintah itu memang berat, tetapi bagi
Yazid tidak ada jalan lain lagi. Itulah cara mujahadatunafsi yang mesti
dilakukan oleh orang itu.
|
Hanzhalah bin Abu Amir Pejuang Islam yang Dimandikan Malaikat
|
Kenikmatan dunia tidak sebanding
nikmatnya menghadap sang Khalik dalam keaaan syahid. Begitulah prinsip yang
dipegang oleh salah seorang sahabat Rosulullah saw, Hanzhalah Bin Abu Amir
Ia pemuda sedehana. Namun berkat ajaran suci Rosulullah
saw, juga latar belakangnya yang bersahaja, ia pun tumbuh menjadi sosok yang
tidak pernah minder, dn gampang putus asa. Ia tek pernah merasa gentar kala
harus membela kebenaran risalah suci yang dibawa Nabi saw.
Pribadinya juga istimewa, karena Hanzhalah adalah Abu
Amir Bin Syafy, yang biasa dipanggil Abu Amir. Abu Amir merupakan salah satu
tokoh pemuka suku Aus pasa masa jahiliyah. Ketika ajaran islam mulai
menerangi Madinah, t4empat ia tinggal, ia berada di garis terdepan barisan
kaum penentang. Tak heran, Rosulullah saw menyebut Abu Amir dengan panggilan
“Si Fasik”.
Abu Amir kemudian memilih meninggalkan Madinah agar bias
menghindari seruan islam yang dibawa Rosulullah saw, sekaligus mencari teman
yang bias diajak menumpahkan dendam. Ia pun bergabung dengan kaum kafir
Quraisy pimpinan Abu Shufyan. Di tengah-tengah kaum Quraisy Makkah ini Abu
Amir gencar melancarkan propaganda tentang perlunya membendung
tumbuh-kembangnya islam, serta memusuhi Rosulullah saw
Sementara itu de Madinah dalam keadan siaga penuh. Kaum
muslimin sudah mengetahui rencana penyerangan pasukan Abu Shufyan. Madinah
genting.
Dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati
melangsungkan pernikahan. Sungguh tindakannya utu merupakan gambaransosok
yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.
Sebagaimana layaknya pengantin baru, malam pertama Hanzhalah pun dilewati dengan penuh kebahagiaan. Penuh cinta, kasih sayang juga kemesraan. Semua itu seakan menjadi bumbu penyedap di setiap degup jantung di malam indah yang tidak mengharapkan pagi segera datang. Memng, saat seperti itu, hal-hal yang sebelumnya diharamkan bagi seorang laki-laki dan perempuan, berubah menjadi halal. Bahkan berpahala besar. Sebanding sengan membunuh 70 Yahudi!
Ketika kedua insane itu tengah asyik bercengkrama memadu
kasih, tiba-tiba dari kejahuan terdengar seruan. Suara itu lama-lama
terdengar makin keras. “Hayya’alal jihad, hayya’alal jihad…,” kian semangat.
Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinga
Hanzhalah dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama
surgawi yang ia nanti-nanti. Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri
dari sang istri, kemudian bergegas mengambil peralatan perang yang memang
telah lama dipersiapkan. Sejurus kemudian ia lari menuju
Di daerah Uhud kaum muslimin mempertaruhkan nyaqwa
menghadapi pasukan Abu Shufyan. Di gurun pasir yang kering dan tandus itu
Hanzalah mencabut pedangnya lalu berkelebat mencari mangsa. Dengan gagah
berani ia terobos pasukan musuh, yang jumlah mereka lebih banyak dari pasukan
kaum muslimin. Satu persatu tubuh orang Quraisy terluka bersimbah darah dan
juga tewas berkalang tanah terkena sabetan pedang Hanzhalah.
Kemahirannya bertempur benar-benar terbukti di perang
Uhud ini. Hanzhalah bahkan berhasil menerobos brikade pasukan pengawal Abu
Shufyan. Ia pun berhadap-hadapan langsung dengan tokoh Quraisy yang satu itu.
Menurut kesaksian bebrapa orang, Hanzhalah bertarung
sengit melawa Abu Shufyan. Bahkan ia tampak lebih unggul dan hamper meraih
kemenangan. Sejengkal lagi pedangnya yang tajam hendak menebas tubuh Abu
Shufyan, pada saat itu juga, Syadad bin al-Aswad, seorang tokoh Quraisy
lainnya, tiba-tiba menikam Hanzhalah dari belakang. Sengguh tindakan seorang
pengecut. Cara bertarung yang tidak jantan. Namun semua sudah ditakdirkan
Allah SWT, sang pengantin baru itu pun gugur sebagai syuhada.Hanzhalah
meninggal dengan senyum penuh kemenangan.
Perang Uhud memang mengakibatkan kerugian besar bagi
umat islam. Salah satunya adalah gugurnya Hamzah bin Abu Mutholib, pelindung
Nabi saw dan pembela islam yang gigih. Termasuk Hanzhalah dan para sahabat
yang lainnya.
Saat Rosulullah saw dan para sahabat lainnya melakukan
pengecekan jenazah, beliau menemukan jasad Hanzhalah. Betapa beliau terkejut,
atas ijin Allah SWT, beliau melihat jasad Hanzhalah tengah dimandikan para
malaikat. Sebuah peristiwa yang belum pernah beliau saksikan sebelumnya.
Peristiwa luar biasa itu pun beliau kabarakan kepeda
para sahabat. Membuat Abu Sa’ad as-Saidi penasaran dan mendekati jasad
Hanzhalah, hendak mencari tahu banyak. Kedua matanya pun terbelalak. Ia
melihat ada bekas tetesan air di kepala jenazah Hanzhalah yang menyunggingkan
senyum itu.
Apa yang terjadi pada jenazah Hanzhalah itu memebuat para
sahabat bertanya-tanya. Di rumah Hanzhalah, seorang sahabat menceritakan
peristiwa tersebut kepada istri Hanzhalah. Perempuan shalihah yang cantik dan
anggun itu pun menjawab, “Dia pergi ke
Rosulullah pun menjelaskan, “Sebab itulah ia dimandikan
para malaikat.”
Hanzhalah bin Abu Amir kemudian dikenal dengan sebutan
“Ghoisulmalaikat” (orang yang dimandikan para malaikat).
|
MUS’AB BIN UMAIR
|
|
|
Tak
Meniggalkan kemewahan dunia demi
menggapai Surga. Itulah yang dilakukan Mus’ab bin Umair ketika masuk islam.
Dia pemuda
Ketika panaran cahaya islam mulai
menyebar di bumi Makkah, orang-orang ribut membicarakan hal itu. Mak tentang
Rosulullah pun terdengar juga di telinga Mus’ab. Ai penasaran, tertari
mengetahui lebih jauh tentang Nabi terahir itu, serta ajaran yang dibawanya
dan tengah disebarluaskannya.
Suatu hari terdengar kabar bahwa
Muhammad tengah berceramah di bukit shoffa, di hadapan puluhan manusia. Dan
Mus’ab pun menuju ke
“Wahai keluarga Gholib, keluarga
Fihr dan keluarga Quraisy yang lain,”sabda Nabi saw, “kalau kukatakan di
balik lembah ini ada segerombolan musuh hendak menyerang kalian, apakh kalian
percaya?”
“Tentu, Muhammad. Sebab engkau
belum pernah berbohong kepada kami!” jawab mereka serentak.
“Ketahuilah, bahwa aku adalah nabi
terahir yang diutus Allah untuk kalian, umat manusia.”
Serentak yang mendengar jadi ribut.
Paling marah Abu Jahal. “Celak kau, Muhammad!” kutuknya sengit.
Berbeda dengan Mus’ab. Ia tidak
demikian. Mendengar hal itu, hatinya tersentuh. Saat itu juga batinnya bertarung.
Bingung. Hendak mempertahankan keyakinannya selama selama ini yang diwarisi
dari nenek moyangnya yakni menyembah berhala, atau Allah yang Maha Esa
sebagaimana ajaran Muhammad saw. Mus’ab gundah.
Di lain kesempatan, Mus’ab menemui
Muhammad saw di rumah seorang penduduk Mekkah bernama Arqom. Ia mengutarakan
kegelisahan hatinya, sekaligus bertanya banyak hal tentang islam. Nabi pun
menjelaskannya dengan rinci, halua san mengena. Mus’ab terpesona. Gundah
gulana jadi hilang. Perasaannya tenang. Di akhir pertemuan, Mus’ab
mengucapkan kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam.
Ketika ibunya tahu tentang hal itu,
ia marah besar. Mus’ab dihukum, dimasukkan dalam penjara rumahnya. Ibunya
berjanji tidak akan membebaskan Mus’ab sebelum Mus’ab kembali pada ajaran
nenek moyangnya –menyembah berhala-, dan keluar dari agama yang baru saja
dipeluknya.
Hingga suatu ketika, tersiar kabar
bahwa umat islam Mekkah hendak berhijrah menuju Habasyah guna menyelamatkan
akidah. Maka ia pun berhasil lolos dari penjara rumahnya, kemudian ikut
hijrah bersama umat Islam lainnya menuju Habasyah. Beberapa bulan kemudian
umat islam pulang kembali ke Mekkah. Orang-orang Mekkah terkejut melihat
keadaan Mus’ab.
“Pemuda itu, yang dahulu sering
berpakaian bagus, necis dan rapi, kini keadaannya tak ubahnya seperti
gelandangan. Pakaiannya compang-camping, banyak jahitan dan tambalan di
mana-mana”.
Umat Islam pun banyak yang
meneteskan air mata mengetahui keadaan Mus’ab ini. Mereka haru, sekaligus
kagum. Mus’ab, ia rela melepaskan kemewahan dunia demi menjaga dan membela
agama. Namun hati mereka juga sedikit bahagia karena Mus’ab masih selalu
tersenyum seperti dulu. Seolah tak merasa menderita dengan keadaannya yang
demikian.
Tepatnya 7 syawal tahun ke-3
Hijriah, perang Uhud meletus. Mus’ab berada di garda terdepan barisa umat
islam. Saat itu umat islam bias dikatakan kalah perang.
Kondisi Nabi saw sendiri sangat
riskan. Ia terdesak lawan dan mulai terluka. Melihat hal itu, Mus’ab menuju
ke arahnya. Mus’ab melindungi Nabi dari kepungan musuh. Bendera islam yang
semula dipegang Nabi saw kini pindah ke tangan Mus’ab. Pemuda itu berjung
ganda; melindungi Nabi saw sekaligus menjaga bendera islam, ia gigih
bertarung membasmi para musuh islam. Banyak korban berjatuhan di ujung pedangnya.
Dan akhirnya ia juga gugur.
Mus’ab yang berjasa besar pada Nabi
saw dan umat islam lainnya telah tiada. Nabi saw juga haru, sebab ketika
jenazah itu hendak dikafani, tak ada kain yang cukup menutupinya. Jenazah itu
akhirnya hanya ditutup dengan kain burdah berukuran kecil. Jika kepala
jenazah Mus’ab ditutupi, kedua kakinya kelihatan. Jika ganti kedua kakinya
yang ditutupi, kepalanya jadi kelihatan.
Mus’ab bin Umair, ia rela
meninggalkan kemewahan dunia demi mempertahankan keyakinannya.
(RUSLAN NZ)
Pernah dimuat “Suara Muhammadiyah”
NO. 02 TH KE- 91// 16-31 Januari 2006 M.
|
FATIMAH AZ ZAHRA
|
|
|
FATIMAH AL ZAHRA PEMIMPIN WANITA SURGA Fatimah al Zahra as
(ucapan Alaiha Salam silakan rujuk misalnya dalam Sahih Bukhari, Juzuk 5,
hadis 368, dan 546) adalah putri Rasulullah SAW. Ibunya Khadijah adalah istri
Rasulullah SAW yang pertama dan amat dikasihinya. Tentang Khadijah,
Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud: “Empat wanita yang terbaik ialah
Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan
Asiah binti Muzahim istri Firaun.” (Muhibuddin al-Tabari, Dhakha'ir al-Uqba
fi Manaqib Dhawi al-Qurba, hl.42: Al Hakim alam al Mustadrak, Juzuk 3, hlm
157).Fatimah AH mempunyai nama-nama timangan seperti Ummal Hasan, Ummal
Husayn, Ummal Muhsin, Ummal A'immah dan Umma Abiha (Bihar al Anwar' Juzuk 43,
hlm16)
Rasulullah SAW menggelarkannya
Fatimah AH sebagai “Ummu Abiha” bermaksud ibu kepada ayahnya. Ini karena
Fatimah AH senantiasa mengambil berat tentang ayahnya yang dikasihi itu.
Selain daripada itu gelaran-gelaran lain ialah Zahra, Batul, Siddiqah Kubra
Mubarakah, Adhra, Tahirah, dan Sayyidah al Nisa (Bihar al-Anwar, Juzuk 43,
hlmn16)Fatimah dilahirkan pada 20 Jumadil Akhir di Mekkah yaitu pada Hari
Jumat, tahun kelima selepas kerasulan Nabi Muhammad SAW (Manaqib Ibn
Shahrashub, (Najaf), Juzuk 3, hlm 132: al Kulaini, al Kafi; Misbah
al-Kaf'ami: Syeikh al Mufid, Iqbal al-Amal). Tempat beliau dilahirkan ialah
di rumah ayahanda dan ibundanya yaitu Rasulullah SAW dan Khadijah ak Kubra.
Beliau AH wafat pada tahun ke-11 hijrah yaitu selepas enam bulan kewafatan
ayahandanya Rasulullah SAW (al Bukhari, Sahih, Juzuk 5, Hadith 546)Kelahiran
Fatimah AH amat menggembirakan Rasulullah SAW. Beliau SAW bersabda tentang
Fatimah AH: “Dia adalah daripada ku dan aku mencium bau surga dari
kehadirannya.” (Kasyf al-Qummah, Juzuk 2, hlm 24).Mengapa diberikan Nama
Fatimah? Menurut Imam Ali al Ridha AS nama "Fatimah" diberikan oleh
Rasulullah SAW Fatimah AH dan para pengikutnya terpelihara dari api neraka.
Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata: “Rasulullah SAW bersabda kepada Ali AS:
Tahukah kamu nama mengapa nama Fatimah diberikan kepadanya? Ali menjawab:
Mengapa dia diberikan nama itu? Dia (Rasulullah SAW) bersabda: Karena dia dan
shiahnya akan diperlihara dari api neraka.”
Ketika masih berumur dua tahun
Fatimah AH turut bersama-sama ayah dan bundanya di perkampungan Shi'bi Abi
Talib karena di boikot oleh masyarakat Mekkah. Kemudian pada tahun ke sepuluh
kerasulan, ibunya Khadijah pula meninggal dunia. Peristiwa ini menjadikan
Fatimah banyak bergantung hidup kepada ayahnya Muhammad Rasulullah SAW.Dalam
peristiwa hijrah ke Madinah, Fatimah AH bersama-sama dengan rombongannya
yaitu Fatimah binti Asad bin Hashim yaitu ibu kepada Imam Ali AS, Fatimah
binti al-Zubair bin Abdul Muttalib, Fatimah binti Hamzah, dan juga Ayman dan
Abu Waqid al-Laithi berhijrah ke Madinah. Rasulullah SAW telah sampai dahulu
di Quba, Madinah. Sebelum meninggalkan Mekkah Rasulullah SAW telah mengarahkan
Ali bin Abi Talib supaya menyusul bersama keluarganya kemudian. Justru,
rombongan hijrah tersebut diketuai oleh Ali bin Abi Talib AS. (berbagai
sumber)
|
WALI WAFAT DI HADAPAN
|
Di tempat baru ini, dia telah
mendirikan sebuah masjid dan beribadah di situ dengan tekun dan tenang.
Beliau senantiasa dikunjungi oleh orang yang ingin belajar dan mendalami
jalan menuju Allah SWT. Pada suatu hari seorang wali Allah yang lain bernama
Soleh Al-Mari berazam untuk menziarahi Abu Jahir untuk mendapatkan barakah
dari beliau. Maka pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Soleh ke
negeri tempat tinggalnya Abu Jahir. Di tengah perjalanan, beliau bertemu
dengan Muhammad bin Wasi’, kenalannya yang juga seorang Wali Allah.
“Assalaamuálaikum.” kata Soleh.“Waálaikumussalaam warahmatullah” jawab
Muhammad bin Wasi’Kedua wali Allah ini pun berpelukan sambil bertanya kabar
masing-masing dan berbual mengenai masalah kesufian.“Engkau hendak pergi ke
mana?” tanya Muhammad.“Aku hendak menziarahi rumah Abu Jahir” “Ke rumah Abu
Jahir?”“Ya, betul”“Masya Allah, aku juga hendak pergi bersama.” Kedua-duanya
pun berangkat menuju ke tempat tinggal Abu Jahir dan setelah berjalan
beberapa batu, mereka bertemu dengan seorang lagi Wali Allah bernama Hubaibul
Ajami. Mereka bersalaman dan bertanya kabar.“Hendak ke mana anda berdua ini?”
tanya Hubaibul Ajami.“Kami hendak menziarahi rumah Abu Jahir”“Aku juga dalam
perjalanan ke
Sumbangan : Webmaster, Petikan/Rumusan Kembali dari : ‘Kisah Wali-Wali Allah’ Karangan Syaikul Imam Abdullah bin Asad Ali bin Sulaiman bin Fallah Al-Yafii, AlYamany Asy-Shafii |
KISAH WALI ALLAH IBRAHIM
AL-KHAWAS
Ibrahim al-Khawas ialah seorang wali Allah
yang terkenal keramat dan dimakbulkan segala doanya oleh Tuhan. Beliau pernah
menceritakan suatu peristiwa yang pernah dialaminya. Katanya, “Menurut
kebiasaanku, aku keluar menziarahi Mekah tanpa kenderaan dan kafilah. Pada
suatu kali, tiba-tiba aku tersesat jalan dan kemudian aku berhadapan dengan
seorang rahib Nasrani (Pendita Kristian).”Bila dia melihat aku dia pun berkata,
“Wahai rahib Muslim, bolehkah aku bersahabat denganmu?”
Ibrahim segera menjawab, “Ya, tidaklah aku
akan menghalangi kehendakmu itu.”Maka berjalanlah Ibrahim bersama dengannya
selama tiga hari tanpa meminta makanan sehinggalah rahib itu menyatakan rasa
laparnya kepadaku, katanya, “Tiadalah ingin aku memberitakan kepadamu bahawa
aku telah menderita kelaparan. Kerana itu berilah aku sesuatu makanan yang ada
padamu.”Mendengar permintaan rahib itu, lantas Ibrahim pun bermohon kepada
Allah dengan berkata, “Wahai Tuhanku, Pemimpinku, Pemerintahku, janganlah
engkau memalukan aku di hadapan seteru engkau ini.”
Belum pun habis Ibrahim berdoa, tiba-tiba
turunlah setalam hidangan dari langit berisi dua keping roti, air minuman,
daging masak dan tamar. Maka mereka pun makan dan minum bersama dengan seronok
sekali.”Sesudah itu aku pun meneruskan perjalananku. Sesudah tiga hari tiada
makanan dan minuman, maka di kala pagi, aku pun berkata kepada rahib itu, “Hai
rahib Nasrani, berikanlah ke mari sesuatu makanan yang ada kamu. Rahib itu
menghadap kepada Allah, tiba-tiba turun setalam hidangan dari langit seperti
yang diturunkan kepadaku dulu.”
Sambung Ibrahim lagi, “Tatkala aku melihat
yang demikian, maka aku pun berkata kepada rahib itu - Demi kemuliaan dan
ketinggian Allah, tiadalah aku makan sehingga engkau memberitahukan (hal ini)
kepadaku.”Jawab rahib itu, “Hai Ibrahim, tatkala aku bersahabat denganmu, maka
jatuhlah telekan makrifah (pengenalan) engkau kepadaku, lalu aku memeluk agama
engkau. Sesungguhnya aku telah membuang-buang masa di dalam kesesatan dan sekarang
aku telah mendekati Allah dan berpegang kepada-Nya. Dengan kemuliaan engkau,
tiadalah dia memalukan aku. Maka terjadilah kejadian yang engkau lihat sekarang
ini. Aku telah mengucapkan seperti ucapanmu (kalimah syahadah).”
“Maka sucitalah aku setelah mendengar jawapan
rahib itu. Kemudian aku pun meneruskan perjalanan sehingga sampai ke Mekah yang
mulia. Setelah kami mengerjakan haji, maka kami tinggal dua tiga hari lagi di
tanah suci itu. Suatu ketika, rahib itu tiada kelihatan olehku, lalu aku
mencarinya di masjidil haram, tiba-tiba aku mendapati dia sedang bersembahyang
di sisi Kaabah.”Setelah selesai rahib itu bersembahyang maka dia pun berkata,
“Hai Ibrahim, sesungguhnya telah hampir perjumpaanku dengan Allah, maka
peliharalah kamu akan persahabatan dan persausaraanku denganmu.”
Sebaik sahaja dia berkata begitu, tiba-tiba
dia menghembuskan nafasnya yang terakhir iaitu pulang ke rahmatullah.
Seterusnya Ibrahim menceritakan, “Maka aku berasa amat dukacita di atas
pemergiannya itu. Aku segera menguruskan hal-hal pemandian, kapan dan
pengebumiannya. Apabila malam aku bermimpi melihat rahib itu dalam keadaan yang
begitu cantik sekali tubuhnya dihiasi dengan pakaian sutera yang
indah.”Melihatkan itu, Ibrahim pun terus bertanya, “Bukankah engkau ini sahabat
aku kelmarin, apakah yang telah dilakukan oleh Allah terhadap engkau?”
Dia menjawab, “Aku berjumpa dengan Allah
dengan dosa yang banyak, tetapi dimaafkan dan diampunkan-Nya semua itu kerana
aku bersangka baik (zanku) kepada-Nya dan Dia menjadikan aku seolah-olah
bersahabat dengan engkau di dunia dan berhampiran dengan engkau di
akhirat.”Begitulah persahabatan di antara dua orang yang berpengetahuan dan
beragama itu akan memperolehi hasil yang baik dan memuaskan. Walaupun salah
seorang dahulunya beragama lain, tetapi berkat keikhlasan dan kebaktian kepada
Allah, maka dia ditarik kepada Islam dan mengalami ajaran-ajarannya.”
No comments:
Post a Comment